Bojonegoro – Kepala Desa Ngemplak, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, Desi Irawati, menjadi sorotan setelah menolak memberikan informasi terkait 27 item proyek desa yang berlangsung dari tahun 2020 hingga 2023. Dewan Pimpinan Daerah Badan Peneliti Aset Negara Aliansi Indonesia Jawa Timur (DPD BPAN/AI Jatim) yang telah berupaya meminta klarifikasi secara resmi masih belum mendapatkan jawaban transparan dari pemerintah desa.
DPD BPAN/AI Jatim sebelumnya telah mengajukan surat permintaan klarifikasi dan menjadwalkan pertemuan pada 1 Februari 2025. Namun, tidak ada tanggapan dari pihak desa. Upaya komunikasi kembali dilakukan melalui WhatsApp, dan pertemuan dijadwalkan ulang pada 5 Februari 2025.
Hari ini, tim DPD BPAN/AI Jatim yang dipimpin oleh Hunin mendatangi Balai Desa Ngemplak, bertepatan dengan kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) oleh pihak kecamatan. Setelah monev selesai, Kepala Desa Desi Irawati akhirnya menemui tim DPD BPAN/AI Jatim. Namun, bukannya memberikan penjelasan yang diharapkan, Kades justru menunjukkan sikap tidak kooperatif.
Dengan nada tinggi, Desi Irawati menegaskan bahwa jika ingin melihat fisik pekerjaan, pihak DPD BPAN/AI Jatim dipersilakan mencari sendiri tanpa pendampingan dari pemerintah desa. Lebih mengejutkan lagi, Kades tiba-tiba meninggalkan pertemuan dengan alasan pribadi. “Saya harus menjemput anak saya. Kalau tidak, anak saya menangis,” ujarnya sebelum pergi, padahal masih pukul 13.30 WIB—waktu pelayanan publik masih berlangsung.
Sikap kepala desa yang menolak memberikan informasi publik ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mengamanatkan bahwa setiap informasi dari badan publik harus dapat diakses oleh masyarakat.
Pasal 2 ayat (1) UU KIP menyatakan:
“Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.”
Selain itu, Pasal 52 UU KIP menegaskan bahwa pejabat yang dengan sengaja menolak memberikan informasi publik yang seharusnya diumumkan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Lebih lanjut, tindakan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana dalam Pasal 26 ayat (4) disebutkan bahwa kepala desa memiliki kewajiban untuk menjalankan pemerintahan desa secara transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi masyarakat.
Penolakan Kades Ngemplak dalam memberikan akses informasi proyek desa menimbulkan pertanyaan besar. Ada apa dengan 27 proyek yang dipermasalahkan? Mengapa Kades enggan bersikap transparan kepada masyarakat dan pihak pengawas?
Jika terdapat dugaan penyalahgunaan anggaran, maka inspektorat, aparat penegak hukum, serta lembaga audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu turun tangan untuk memastikan tidak ada indikasi korupsi dalam proyek-proyek tersebut.
Masyarakat kini menunggu tindakan tegas dari pihak berwenang. Jika transparansi terus diabaikan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa akan semakin luntur.
Tim Investigasi
Tidak ada komentar