Oleh Penulis: Hamsul, /Wartawan Muda Dewan Pers dan UKW Madya LPDS/DP (No:25663-solopos/Wda/DP/XI)
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pengertian pers dalam bahasa Belanda, berasal dari bahasa latin pressare yang berarti tekan atau cetak. Pers dalam perkembangan selanjutnya diartikan sebagai media massa cetak (printing media). Istilah pers yang diambil dari bahasa Belanda biasa dipakai untuk surat kabar atau majalah (Masduki,2003:7).
Menurut Oemar Seno Adji, pers memiliki dua arti. Pengertian dalam arti sempit, pers adalah penyiaran–penyiaran pikiran, gagasan, atau berita–berita secara tertulis, sedangkan dalam arti yang luas, pers adalah semua massa communication yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata–kata tertulis maupun dengan lisan. Menurut Onong Uchjana Effendy, surat kabar adalah lembaran tercetak yang memuat laporan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dengan ciri–ciri: terbit secara periodik dan bersifat umum.
Perkembangan pers Indonesia berjalan sejajar dengan ekspansi bertahap yang dilakukan oleh Belanda, berawal dari kedatangan bangsa tersebut di Nusantara di abad ke-19.. Kongsi dagang Varenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie (VOC), menyadari bahwa pers berguna untuk mencetak aturan hukum yang termuat dalam maklumat resmi pemerintah, sejak itulah sejarah pers di Indonesia berkembang. (Adam,2003:2).
Pers mula-mula muncul di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang dan Surabaya yang merupakan kota pelabuhan pusat lalulintas pengapalan hasil pertanian.
Adam Ahmad dalam bukunya yang berjudul Sejarah Awal Pers Menyebut, Sejarah Perkembangan pers di Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dari keberadaan mesin cetak di wilayah tersebut. Adapun Mesin cetak pertama di Hindia Belanda didatangkan oleh para misionaris Gereja pada tahun 1624. Kendati demikian Pengunaan mesin cetak sebagai pencetak surat kabar baru dilakukan pada tahun 1744 pada masa gubernur jenderal Guustaf Willem Baron van Imhoff. Surat kabar tersebut bernama Bataviasche Nouvells.
SEJARAH PERS INDONESIA
Beberapa catatan disebutkan, Pers Indonesia lahir dari gerakan Kemerdekaan dan kebangkitan Nasional. Pers digunakan sebagai alat untuk menanamkan kepada rakyat Indonesia pada saat itu bahwa pentingnya kemerdekaan. Penguasaan Hindia Belanda atas kekuasaan Indonesia menanamkan semangat bagi kaum pribumi untuk berkembang dan merdeka ditanahnya sendiri. Banyak dari kaum pribumi sadar akan pentingnya pers didalam mewujudkan semangat juang.
Tak hanya itu, Kemunculan pribumi terpelajar serta perkembangan Kapitalisme cetak menjadi basis material munculnya kesadaran nasional Indonesia. Semangat etis yang juga berkembang semakin mendorong terciptanya kemajuan bagi kaum pribumi dalam memahami dunia pers. Sekolah-sekolah yang ada di pusat-pusat kota dan dibangunnya sarana komunikasi modern seperti pos, telegraf, dan telepon juga merupakan sendi-sendi yang memperkokoh kehidupan persuratkabaran atau pers pada umumnya.
Sejarah pers Indonesia berlanjut, tatkala Keinginan kaum pribumi untuk berdiri ditanahnya sendiri terus menjadi gerakan massif, keinginan itu di implementasikan kedalam pers yang terus dijadikan sebagai media propaganda kepada kaum pribumi untuk mewujudkan kemerdekaan, hingga di tahun 1902 muncul surat kabar bernama bintang Hindia. Bintang Hindia didirikan oleh Muhammad Rifai, lulusan dokter Slovakia. Bintang Hindia dianggap berperan penting dalam memberikan identitas kolektif melalui tulisannya. Salah satu contohnya adalah penggunaan diksi “Bangsa Hindia” dalam surat kabarnya untuk memisahkan orang Indonesia dengan orang Eropa. Selain itu, Abdul Rivai, melalui Bintang Hindia memberikan idenya mengenai perhimpunan kaum muda untuk membangun dan memperjuangkan bangsa Hindia demi mencapai kemajuan. Namun ide ini kemudian ditolak oleh pimpinan redaksi Bintang Hindia. Meski ditolak ide perhimpunan dan organisasi ini bisa dibilang sangat visioner, mengingat Budi Utomo yang dianggap sebagai penanda titik balik kebangkitan nasional bahkan belum hadir pada masa Ketika Bintang Hindia masih aktif (1903-1907).
Tahun 1970 juga terbit koran MEDAN PRIJAJI . Medan Prijaji didirikan Tirto Adhi Soerjo. Surat Kabar Medan Prijaji sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda yang pada saat itu berusaha menyebarkan pandangan tunggal kolonialnya. Medan Prijaji juga merupakan cikal bakal munculnya sejumlah pers surat kabar di Indonesia. Kemunculannya membawa perubahan yang signifikan bagi dunia pers dikalangan pribumi. Banyak kaum pribumi termotivasi untuk menerbitkan surat kabar sebagai bentuk perlawanan terhadap Kolonial.
Surat kabar atau majalah adalah sarana komunikasi yang utama untuk memantapkan kebangkitan nasional dalam rangka mencapai cita-cita perjuangan. Karena itu, dalam jangka waktu yang relatif pendek, setelah terbitnya Surat Kabar Bintang Hindia, dan Medan Prijaji, di awal tahun 1920, telah tercatat sebanyak 400 penerbitan dalam berbagai corak di banyak kota di seluruh Indonesia.
Semangat juang pers untuk meraih kemerdekaan sebagai Pribumi tentu tidak berjalan mulus, Penerbitan-penerbitan yang mencerminkan suara kaum ‘non-koperator’ menghadapi pengekangan-pengekangan polisi kolonial. Dan karena kebanyakan dari wartawan atau penulis surat kabar ‘non-kooperator’ tersebut adalah juga para aktivis pergerakan, maka kebanyakan dari mereka mengalami penahanan bahkan pengasingan. Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, Iwa Kusumasumantri, Rasuna Said, dan lain-lain, serta nama-nama kurang dikenal waktu itu seperti I.F.M. Salim dan Abdul Karim Ms, termasuk di antara mereka yang menderita hukuman penjara atau pembuangan ke Digul atau tempat-tempat pengasingan kolonial lainnya.
Tetapi, Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang mencetuskan Sumpah Pemuda justeru semakin membulatkan tekad kaum pergerakan, termasuk pejuang-pejuang pers. Meluasnya penyebaran ide-ide kemerdekaan melalui media cetak memaksa penjajah untuk melembagakan pengekangannya. Pada pertengahan September 1931, Belanda memberlakukan Persbreidel Ordonnantie. Surat kabar-surat kabar pergerakan mulai saat itu menghadapi ranjau pemberangusan oleh penguasa kolonial, dan banyak wartawan serta penulis yang pernah dihukum pemerintah kolonial Belanda karena berita atau pikiran mereka dalam pers.
Hamdan Daulay dalam tulisannya yang berjudul Etika Jurnalistik Kebebasan pers menyebut, Keadaan pers Indonesia pada masa penjajah memang sesuai Dengan keadaan masyarakat, di mana ketiga golongan penduduk Tersebut mencerminkan situasi keadaan penduduk yang mempunyai Kepentingan yang saling bertentangan. Pada masa pemerintahan Belanda, setiap orang atau organisasi bebas merdeka menerbitkan surat Kabar atau majalah sendiri dan tidak perlu meminta surat izin untuk Terbit. “Tetapi setiap penerbitan haruslah dikirimkan kepada pemerintah Kolonial Belanda selama 24 jam setelah keluar dari percetakan. Apabila Isi surat kabar atau majalah dianggap kurang cocok, maka pemimpin Redaksi yang diminta datang ke kantor polisi untuk dimintai Pertanggungjawabannya. Bila nama penulis dan alamatnya jelas, maka Penulis yang dihadapkan ke sidang pengadilan”,Tulis Hamdan Daulay, dalam bukunya yang terbit pada tahu 2016.
Peran Pers Nasional tidak bisa dilupakan begitu saja, karena berperan penting dalam perjuangan bangsa ini. Sejarah Indonesia mencatat peran serta Pers mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia juga tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air yang berjuang untuk menghapus penjajahan di Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik. Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategik sendiri dalam upaya berlanjut untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Di masa pergerakan era perjuangan, wartawan menyandang dua peran sekaligus, sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional, dan juga peran sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan, tujuan tunggal dari kedua peran tersebut yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Lahirnya Pers di Indonesia tak lepas dari tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peranan pers, yang menjadi salah satu alat perjuangan para pejuang Indonesia di masa lampau. Pasca Indonesia merdeka, Keistimewaan politik berupa kemerdekaan pers kini ternikmati dan mendapat legitimasi yang kuat dari negara. Kemerdekaan pers yang merupakan salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis kini amat terjamin sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Bahkan pers saat ini lebih kredibel dan etis.
Kemerdekaan pers yang kini ternikmati oleh pers harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan bagi seluruh rakyat negeri ini sebagai pemegang kekuasaan di negeri ini untuk meraih kesejahteraan. Sejarah puluhan tahun yang silam dimana kelahiran pers koheren dengan rakyat yang saat itu amat tertindas dan terjajah baik secara moral maupun ekonomi oleh kaum penjajah memfaktakan bahwa pers dan rakyat tak dapat dipisahkan.
Publisher : Cgm/Red
Tidak ada komentar